Problem Sosial Perkotaan di Indonesia

Oleh: Pahrudin HM, MA

Jika meluangkan waktu untuk sejenak berjalan-jalan di perkotaan, menyusuri jalan demi jalan di tengah lalu lalang kendaraan, tentu mata kita akan tertuju pada segerombol anak-anak (dan seringkali juga orang dewasa) yang berkeliaran di seputaran lampu merah. Berbekal alat musik seadanya, seperti beberapa tutup botol yang dipasangkan di sebilah bambu dan kemudian dipukul-pukulkan ke tangan sehingga menghasilkan bunyi berirama tertentu, atau ada juga sejumlah orang yang menggunakan alat musik konvensional seperti gitar dan lain sebagainya. Di beberapa sudut kota lainnya juga dapat dijumpai beberapa orang yang tanpa menggunakan bantuan alat musik apapun menengadahkan tangannya di depan pintu setiap mobil yang kebetulan berhenti, baik karena terhalang oleh traffic light maupun karena kemacetan yang umumnya menjadi pemandangan sehari-hari perkotaan.

Inilah sekelumit pemandangan yang umumnya dapat dijumpai dan ditemukan pada kawasan perkotaan, terutama kota-kota besar metropolitan semacam Surabaya, Jakarta, Yogyakarta dan Bandung. Masih ada banyak pemandangan yang akan dijumpai di kota-kota semacam ini menyangkut problem sosial yang menggelayutinya. Sebagai kawasan perkotaan, problem sosial yang senantiasa hadir di dalamnya terdiri dari beragam jenis dan model serta tidak hanya menyangkut seperti pemandangan di atas.

Dalam kajian sosial perkotaan, problem sosial yang menghinggapi perkotaan dan secara khusus adalah kota-kota besar metropolitan, dikenal dengan nama Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial atau disingkat PMKS. Kelompok ini terdiri dari anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu, orang jompo dan pekerja seks komersial. Di setiap kota, jumlah orang yang masuk dalam kategori PMKS ini terdiri dari beragam angka yang fluktuatif. Pada kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar, Palembang dan Yogyakarta, jumlah orang yang dikategorikan sebagai PMKS diyakini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan yang ada di kota-kota menengah dan kecil di Nusantara, seperti Malang, Jambi, Pekanbaru, Bengkulu, Balikpapan, Pontianak dan Jayapura. Sebagai contoh, berdasarkan data yang ada, jumlah PMKS yang ada di Surabaya sebagai salah satu kota besar di Nusantara pada tahun 2009 adalah sebanyak 29.763 orang. Angka ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan di Kota Pahlawan ini jika dibandingkan dengan beberapa tahun belakangan ini. Kota-kota besar lainnya, terutama Jakarta, tentu memiliki jumlah angka yang tidak jauh berbeda dengan Kota Surabaya, bahkan tidak menutup kemungkinan justru jauh melampaui jumlah tersebut mengingat predikatnya sebagai ibukota negara.

Melihat besaran jumlah tersebut yang tentunya diikuti dengan implikasi dampak yang ditimbulkannya, seperti kriminalitas dan ‘mengganggu pemandangan kota’, maka pemerintah kota-kota tersebut selalu selalu memeras otak untuk mengatasinya. Jika berkaca pada kenyataan obyektif bahwa Indonesia sebagai salah satu negara besar di dunia adalah negara yang kaya dengan limpahan sumberdaya alam, sekaligus juga sumberdaya manusia. Namun demikian, kenapa justru tingkat kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakatnya yang salah satunya ditunjukkan dengan besaran angka PMKS di kota-kota masih tinggi. Dengan sumberdaya alam yang melimpah, plus sumberdaya manusia yang banyak sebenarnya Indonesia layak berdiri sejajar dengan negara-negara kuasa dunia semisal Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jepang dan Korea. Namun kenyataannya, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia justru jauh berada dibawah Malaysia, apalagi dengan negeri pulau kecil Singapura.

Jika merujuk pada fenomena PMKS yang terus menghantui kota-kota di Indonesia, maka setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor yang menyebabkannya mengemuka. Pertama, sejak awal pendirian republik ini, terutama sejak pemerintahan rezim Orde Baru dibawah komando Soeharto, Indonesia menganut sistem dan model pembangunan yang sentralistik. Hanya wilayah-wilayah dan kota-kota tertentu yang mendapatkan porsi besar pembangunan segala bidang, dimana sebagian besarnya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sebagian kecil Pulau Sumatera. Sementara wilayah-wilayah dan kota-kota lainnya yang sebagian besar berada di kawasan timur Indonesia hanya mendapatkan ‘kue pembangunan’ yang relatif sedikit. Akibatnya, terjadilah ketimpangan pembangunan di antar wilayah Nusantara sehingga memunculkan beragam sebutan, seperti Kawasan Indonesia Timur dan Kawasan Indonesia Barat. Padahal sesungguhnya wilayah luar Jawa memiliki sumberdaya alam yang jauh lebih besar dibandingkan Pulau Jawa. Kota-kota dan wilayah-wilayah di Jawa relatif lebih mengalami perkembangan segala sektor secara signifikan, sementara luar Jawa cenderung stagnan, kecuali beberapa kota utamanya seperti Makassar, Balikpapan, Palembang dan Medan. Karena ketersediaan beragam infrastruktur, fasilitas dan sumber penghasilan yang sangat komplit di Jawa, maka terjadilah perpindahan (urbanisasi dan migrasi) dari berbagai wilayah yang menyerbu kota-kota.

Kedua, seiring dengan peningkatan penduduk yang signifikan (sejak tahun 2000 sudah menyentuh angka 200-an juta jiwa dan 70%-nya terkonsentrasi di Jawa), maka kebutuhan akan perumahan dan beragam infrastruktur dan fasilitas hidup juga akan mengalami peningkatan. Akibatnya, lahan-lahan pertanian berupa sawah dan kebun yang selama ini menjadi sumber utama penghasilan masyarakat beralih fungsi menjadi perumahan dan lain sebagainya. Karena masyarakat yang selama ini hanya memiliki ketrampilan bertani tidak lagi memiliki lahan, maka jalan yang ditempuh adalah berurbanisasi ke perkotaan. Akibatnya, kota-kota dibanjiri oleh arus urban yang terus menyesaki berbagai sudut kota yang kemudian menciptakan PMKS.

Demikianlah sekelumit paparan mengenai problem sosial perkotaan yang menjadi salah satu tema sentral permasalahan yang harus dipecahkan oleh berbagai pemerintah daerah di tanah air. Semoga di masa yang akan datang, seiring dengan bergulirnya Otonomi Daerah yang memberikan wewenang daerah mengatur dirinya sendiri beragam problem sosial yang terus menghinggapi ini dapat diminimalisasi semaksimal mungkin melalui beragam program yang bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat.