Kebijakan Perkebunan Karet Rakyat di Indonesia

Oleh: Pahrudin HM, M.A.

Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan karet di tengah masyarakat Indonesia berdampak signifikan terhadap kehidupannya. Berawal dari ketertarikan terhadap keberhasilan yang dicapai oleh perusahaan-perusahaan Belanda dalam mengusahakan komoditas ekspor ini, masyarakat Indonesia, khususnya di Sumatra dan Kalimantan, mulai mengusahakan tanaman yang disadap getahnya ini. Pada awalnya hanya diusahakan dalam areal yang terbatas di antara tanaman-tanaman lainnya, namun lambat laun mulai diusahakan di areal tersendiri dan dalam skala yang cukup besar.

Melihat begitu besar dan luasnya pengaruh positif perkebunan karet bagi perekonomian bangsa dan masyarakat Indonesia, setelah merdeka pemerintah melakukan upaya untuk menata sistem perkebunan karet di dalam negeri. Sebagai langkah awal, pemerintah Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan perkebunan milik Belanda yang banyak tersebar di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, seperti di Sumatra Utara, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu dan berbagai wilayah di Pulau Jawa dan Kalimantan Selatan. Setelah melakukan pengambilalihan, selanjutnya pemerintah mengambil kebijakan untuk menata perusahaan-perusahaan perkebunan karet tersebut agar hasil yang didapatkan menjadi lebih baik untuk membantu perekonomian bangsa yang baru merdeka pada saat itu. Kebijakan penataan perusahaan-perkebunan karet ini dimulai tahun 1958 pada masa Orde Lama dengan adanya Perusahaan Perkebunan Negara Baru atau yang dikenal dengan PPN Baru untuk membiayai upaya perebutan Irian Barat yang saat itu masih dikuasai oleh Belanda. Di antara langkah penting yang dilakukan pemerintah saat itu adalah mengganti seluruh manajemen perusahaan dengan orang-orang Indonesia. Kebijakan penataan perkebunan karet yang telah dimulai pada masa Orde Lama dilanjutkan kembali pada masa Orde Baru pada dasawarsa 1967-1977.

Satu aspek yang membedakan sistem penataan dan pengelolaan perkebunan karet di masa Orde Baru dengan di masa sebelumnya adalah penataan perkebunan karet dilakukan secara lebih komprehensif dengan memasukkan perkebunan karet rakyat dalam pengaturan pemerintah. Jika di masa Orde Lama perkebunan karet disamaratakan, baik yang dikelola oleh perusahaan maupun yang dikelola secara mandiri oleh rakyat, tetapi di masa Orde Lama perkebunan karet rakyat mendapatkan porsi tersendiri. Pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini mengambil kebijakan pengelolaan perkebunan karet dengan membaginya menjadi: Perkebunan Besar dengan sistem manajemen Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) dan Perkebunan Rakyat dengan sistem Perkebunan Inti rakyat atau PIR. Pada masa Orde Baru, pemerintah menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada politik ekonomi pasar bebas, sementara di sisi lain laju inflasi kian tidak terkendali. Akibatnya, pemerintah merasa perlu menata ulang sistem perkebunan yang selama ini diterapkan agar segala permasalahan yang timbul dapat segera teratasi. Upaya perombakan tersebut terealisasi dengan terbentuknya Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP), yaitu suatu lembaga perekonomian yang sah dan didukung penuh oleh pemerintah yang berusaha untuk mengejar keuntungan ekonomis sebesar-besarnya. Hingga saat ini tercatat telah ada 29 PTP yang tersebar di seluruh Indonesia, mulai dari PTP I di wilayah Propinsi Aceh (NAD) hingga PTP XXIX di Surabaya yang wilayah kerjanya mencakup daerah Jawa Timur dan Kalimantan Timur.

Meskipun demikian, ternyata inovasi yang terjadi dalam bidang ini tidak berhenti hanya sampai di situ. Pada tahun 1977 pemerintah menerapkan kebijakan baru yang mendasarkan diri pada upaya untuk memberdayakan perkebunan yang dimiliki oleh rakyat agar terorganisasi dengan baik dan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Hasilnya terbentuklah Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang ditandai dengan penerapan Necleus Estate System (NES) yang berfungsi untuk membina perkebunan rakyat dengan pembiayaan, terutama bersumber dari keuntungan yang diperoleh dari PTP, serta bantuan dari luar negeri. Kebijakan ini pertama kali diterapkan di Tabenan (Sumatera Selatan) dan Langsa (Aceh) pada tahun 1977 yang dibiayai oleh Bank Dunia dan kemudian terus dikembangkan, bahkan antara tahun 1980-1981 telah mencapai 10 lokasi PIR. Pemilihan lokasi NES berdasarkan atas potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut, yaitu potensi perkebunan, baik dari aspek teknik agricultural maupun ekonomi. Kebijakan perkebunan rakyat dengan pola PIR ini dilakukan sebagai upaya menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat petani karet miskin yang sering kalah bersaing dengan perusahaan besar. Pola PIR dilakukan dengan memberdayakan perusahaan besar yang berfungsi sebagai inti untuk membantu petani karet (plasma) sehingga terjalin hubungan yang saling menguntungkan. Pola ini dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani karet yang selama ini berada pada posisi yang kecil dan juga berfungsi untuk merangsang kenaikan produksi. Melihat kondisi petani PIR mengalami masalah ketidakmampuan untuk melunasi kreditnya, penjualan bahan olah karet (bokar) keluar inti, mutu bokar yang rendah dan beragam serta eksploitasi tanaman karet yang berlebihan, maka sejak tahun 1991 pemerintah tidak lagi mengembangkan perkebunan karet melalui Pola PIR. Setelah cukup lama dalam kevakuman, akhirnya pada tahun 2006 pemerintah mengambil kebijakan untuk kembali memperhatikan eksistensi karet rakyat melalui Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan. Kebijakan pemerintah ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP). Peraturan Menteri Pertanian tahun 2006 di atas dijadikan acuan dan pedoman dalam upaya pemerintah membantu eksistensi para petani karet rakyat melalui program revitalisasi perkebunan, sedangkan Peraturan Menteri Keuangan tahun 2006 tersebut berfungsi sebagai acuan dalam membiayai program tersebut. Program Revitalisasi Perkebunan adalah upaya yang dilakukan pemerintah untuk mempercepat pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pengembangan perkebunan, pengolahan dan pemasaran hasil.

Daftar Bacaan

Ahmad, Rofiq. 1998. Perkebunan; Dari NES Ke PIR. Jakarta: Puspa Swara. Cetakan Pertama.

Forum Pengkajian Perkaretan, 1994. Konsepsi Pembangunan Jangka Panjang Perkaretan Indonesia (1994-2019). Jakarta : Kerjasama PPPA dan GPKI.

Padmo, Soegijanto. 2004. ‘Perusahaan Tanaman Karet di Sumatera Timur’ dalam Bunga Rampai Sejarah Sosial-Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media-Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Edisi Pertama.

Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan.

Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP).

Zed, Mestika. 2002. ‘Ekonomi Dualistis Palembang pada Periode Kolonial Akhir’ dalam J. Thomas Lindblad (ed.). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM. Cetakan Pertama.

Yogyakarta, 24 Oktober 2012